BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
belakang masalah
nash dalam Al-Qur’an semuanya
adalah pasti (qath’i) bila ditinjau
dari datangnya, ketetapannya, dan ke-nukilan-nya dari rasulullah saw kepada umatnnya. Rasulullah saw wafat ketika
ayat al-Qur’an telah dita’winkan (dibukukan) menurut kebiasaan penta’winan
bangsa arab. Ketika zaman Abu Bakar As-Shiddiq, beliau
mengumpulkan al-Qur’an dengan pelantara Zaid bin Tsabit dengan sebagian para
sahabat yang dikenal hafalannya.
Kemudian Al-Qur’an dihimpun
berdasarkan urutan yang pernah dibacakan Rasulullah
saw semasa hidupnya. Upaya memelihara Al-Qur’an yang telah dihimpun ini dilakukan oleh Abu Bakar
semasa hidupnya, kemudian dilanjutkan oleh umar bin khottob. Sepeninggal Umar, himpunan
al-Qur’an itu
diserahkan kepada putrinya Hafsah, Ummul mu’minin. ketika utsman menjadi khalifah, kumpulan
al-Qur’an itu diambil dan di mushafkan (dibukukan) Pembukuan itu
dilakukan melalui Zaid bin Tsabit dibantu
beberapa sahabat kemudian dikirim kebeberapa negeri Islam
Dengan demikian
Abu Bakar berhasil
memelihara himpunan al-Qur’an, kemudian disebarkan keseluruh umat Islam, sehingga
mereka tidak saling berbeda dalam membacanya.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apakah
pengertian qath’i dan dzanni?
b. Apasajakah
sifat Qath’I dan Zhanni dalam ayat ayat Al qur’an?
c. Apasajakah
faktor faktor terjadinya zhanni
ad-dalalah?
d. Bagaimanakah
karakteristik dan bentuk bentuk Penjelasan Hukum Al qur’an?
e. Apasajakah
ayat ayat tentang hukum Al-qur’an?
1.3. Tujuan Masalah
a.
Untuk
memahami pengrtian qath’I dan dzanni
b. Untuk
mengetahui sifat Qath’I dan Zhanni dalam ayat ayat Al qur’an?
c. Untuk
lebih paham tentang faktor faktor
terjadinya zhanni ad-dalalah?
d. Untuk
lebih memahami karakteristik dan bentuk bentuk Penjelasan Hukum Al qur’an?
e. Untuk
mengetahui ayat ayat tentang hukum Al-qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian qath’i dan dzanni
Kata
qath’I ialah merupakan (mashdar) dari kata qatha’a, yaqtha’u, qath’an yang
berarti abana, yubinu, ibanatan yang artinya memisahkan menjelaskan.kata qath’I
juga berarti pasti, jelas. Secara etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna
memisahkan bagian tubuh dengan cara menghilangkannya atau memotongnya.[1]
Tetapi dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna keyakinan, kepastian,
sesuatu yang bersifat tetap.
Sedangkan
secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian
dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”. [2]
Kedua: Secara etimology dzanni bermakna
dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan.
Sedangkan
secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling
berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Dalil qath’i
dan dzanni
Pertama: Dalil qath’i
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa
ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya. Atau bisa juga diartikan:
”sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad, dalalah dan
sifatnya yang tetap”. Ada yang menambahkan: “qath’i adalah sesuatu yang
pasti dilihat dari segi matan dan dalalahnya”.
Contoh:
An-nisa:4
أَقِيْم
الصَّلَاة
Artinya : “ Dirikanlah Shalat”
Jika perhatian hanya ditunjukkan kepada
nash Al-Qur’an yang
berbunyi Aqimu Al-Shalah, maka nash ini
tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak
ayat Al-Qur’an yang
menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib.
kepastian tersebut datang dari pemahaman terrhadap nash-nash lain (yang
walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang
sama. Dalam contoh
diatas, ditemukan selaan banyak ayat atau hadits yang menjelaskan antara lain
hal-hal berikut :
a. pujian kepada
orang-orang yang shalat
b. celaan dan
ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya.
c.
perintah
kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang
dalam keadaan berdiri atau bila udzur duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat.
d. Pengalaman-pengalaman yang
telah diketahui secara turun temurun dari Rasulullah saw, sahabat beliau, dan generasi
sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut,
yang kemudian disepakati oleh umat melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat Aqimu
al-Shalah secara pasti
atau qath’iy
mengandung makna wajibnya shalat. juga
disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya. Di
sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimus shalah, menjadi aksioma. Di
sini berlaku ma’lum min al-din al-dharurah. Biasanya, ulama-ulama
Ushul Fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i.
Sebab jika mereka menunjuk kepad nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri,
maka akan dapat terbuka peluang –bagi mereka yang tidak mengetahui ijma’
itu- untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke
makna yang lain. Maka, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk
kepada ijma’.
Contoh
QS. Al Baqarah : 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَر بصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوْءٍ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru”. (Q.S. Al Baqarah :
228).
Lafadz quru’ dalam bahasa
arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih). Di dalam ayat
tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut
memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus
menunggu tiga kali quru’. dengan demikian, akan timbul dua pengertian yaitu
tiga kali bersih atau tiga kali kotor. jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat
tersebut tidak dikatakan qath’i. karena
itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa
menunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali
bersih dan ada yang mengatakan tiga kali haidh.
Kedua: Dalil dzanni
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah
satunya”. Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya
nash yang tidak qath’i”.
2.2. Sifat Qath’I dan Zhanni dalam Ayat Ayat Al
qur’an
Sebagaiman
telah disebutkan, ditinjau dari segi kepastian keberadaan ayat ayat al quran,
semua ayat al quran yang terdapat dalam mushaf
utsmani adalah bersifat qath’I ats-tsubut, yang keberadaanya pasti. Artinya
secara menyakinkan semua ayat ayat tersebut pasti berasal dari rasullullah SAW,
dan tidak ada satu ayat atau satu kata pun di dalamnya berasal dari pemikiran
atau reka rekaan sahabat.[3]
Sebab semua kata kata dan ayat ayatnya diriwayatkan secara mutawatir dan
melalui suatu vertifikasi ilmiah yang sangat teruji, yang sampai sekarang belum
ada satu penelitian ilmiah yang mampu menandingi ketelitianya. Dengan demikian,
tidak ada satu penelitian ilmiah yang mampu menandingi ketelitianya. Dengan
demikian, tidak ada satu ayat pun didalam al quran yang bersifat dzanni
ats-tsubut, yang keberadaanya tidak pasti.[4]
Dalam
itu, ditinjau dari segi tunjukan (dalalah) makna yang terkandung di dalamnya,
dapat dibagi dua.
a.
Ayat ayat al qur’an yang bersifat qath’I
ad-dalalah.
b.
Ayat ayat al qur’an yang bersifat zhanni
ad-dalalah
Adapun
yang dimkasut dengan ayat ayat al quran
yang bersifat qath’I ad-dalalah ialah, ayat ayat yang tunjukan maknanya bersifat pasti, dalam
arti, hanya mengandung suatu makna saja.
Ayat ayat yang bersifta qath’I ad-dalalah ini, antara lain, ayat ayat yang
menjelaskan tentang pokok pokok keimanan, seperti: tentang keesaan allah,
keberadaan dan misi para rasul, tentang malaikat, kitab kitab suci yang
diturunkan dan tentang kepastian datang hai kiama; tentang kewajiban kewajiban
utama sebagaiman yang dirumuskan dalam rukun islam, dan beberapa masalah hokum
islam lainya, seperti:haramnya riba dan
makan babi; tentang tujuan tujuan utama pensyariatan hokum islam (maqashid
asy-syari’ah), yaitu meraih manfaat dan kemaslahatan, serta menolak bahaya dan
kemudhratan.[5]
Ayat
ayat bersifat qath’I ad-dalalah, jika dilihat secara sendiri sendiri dan
terpisah dari ayat ayat lainya, dapat
saja bersifat zhanni. (relative). Akan tetapi, karena didukung oleh penjelasan
dari berbagai ayat maupun keterangna hadisyang sangat kuat, maka maknanya
berubah menjadi bersifat qath’I (pasti).
Selanjutnya
yang dimaksut dengna yata ayat al qur’an yang bersifat zhanni ad-dalalah ialah,
ayat ayat yang tunjukan maknanya
mengandung lebih dari satu makna. Meskipun keberadaan teks/redaksi/nashsh semua
ayat ayat al qur’an bersifat pasti, namun dari segi makna yang terkandung
didalam ayat ayatnya, terdapat banyak makna ayat yang bersifat zhanni
ad-dalalah.
2.3.Faktor
faktor terjadinya zhanni ad-dalalah
Terutama
dalam bidang hokum islam, terjadinya zhanni
ad-dhalalah karena dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu: faktor
kebahasaan dan faktor rumusan rumusan syara’ yang berkaitan dengn prinsip
prinsip hukum isominalam.[6]
a. Faktor
kebahasaan
Masalah
masalah kebahasaan dapat dipandang merupakan faktor yang paling dominan melahirkan
ketidakpastian makna suatu ayat. Faktor kebahasaan ini, antara lain, lafal
musytarak (kata yang engandung lebih dari satu makna). Contohnya, dalam surat
al baqarah (2): 228:
وآ
لمطلقت يتر بصن بآ نفسھن ثلثة قروء
Artinya:”Wnita
wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Dalam
bahasa arab kata quru’ sebagaimana yang terdapat dalam ayat diatas mengandung
arti suci, dan dapat pula mengandung arti haid. Karena kedua makna tersebut
sama kuat dalam bahasa arab. Oleh karena itu, mazhab asy syafi’I berpendapat maknanya suci.akiabat
hukunya, menurut mazhab ini, masa iah wanita yang ditalak suaminya lebih
pendek, jika dibandingkan dengan pendapat mazhab hanfi yang berpendapat makna
kata quru’ adalah haid
Contoh
lafal musytarak lainya ialah, kata aw (atau) dalam surah al-maidah (6):33:
إ نم جزوآ آلذين يح ربون آلله ورسوله٬ ويسعو ن
في آעرض
فسادا أن يقتلوآ أو يصلبو أو تقطع أيديھم وأر
جلھم من خلف أو يصلبوآ أو تقتع
أيديھم وآر جلھم من خلف أو ينفوآ من آע رضى
Artinya:”Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang yang memerangi allah dan rasulnya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotng tangan dan kaki mereka dengan cara
silang , atau dibuang dari negri (tempat kediamanya)”.
Kata
sandang aw (atau) dalam ayat diatas dapat menunjuk pengertian memilih
alternative yang ada.oleh karna itu, sebagian ulama berpendapat, seorang hakim
dapat memilih salah satu hukuman yang uhi dipandangnya efektif mencapai tujuan
pemidanaan dari antara beberapa hukuman yang disebutkan dalam ayat diatas
terhadap pelaku terror dalam masyarakat. Akan tetapi, kata aw (atau) juga dapat
menunjuk pengertian memerinci bentuk hukuman. Berdasakan pengertian ini,
sebagian ulama lainya berpendapat, hakim menjatuhkan vonis hukuman terhadappelaku
teror dimasyarakat sesuai dengan dampak yang ditimbulkan perbuatan teror
tersebut. Dalam hal ini, teroris yang menciptakan ketakutan dimasyarakat dan
menjarah harta, maka hukumanya potong
tangna dan kaki secara silang. Sedangkan teroris yang telah menjelajah dan
membunuh, dijatuhi hukuman potong tangan dan kaki kemudian salib. Sementara
teroris yang hanya menciptakan ketakutan
dimasyarakat tetapi tidak
menjelajah dan membunuh, hukumanya hanya diasingkan saja, tanpa dipotong tangan dan kakinya dan tanpa disalib.
Faktor
kebahasaan lainya adalah dari segi majaz. Contohnya makna al-lams yang terdapat
dalam surah an-nisa’ (4):43:
وٳن
كنتم مر ضى ٲو عل سفر أو جا ء أحد منكم من آ لغاوءط أو لمستم آلنسا ء فلم تجدوا ما
ء فتيمموا صعدا طيبا
Artinya:”Dan jika kanu sakit atau dalam keadaan
musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci)”.
Kata
lamastum dalam ayat diatas dapat mengandung
makna majas dalam arti bersetubuh . mazhab asy syafi’I berpegang pada makna
hakiki , sehingga menurut mazhab ini,wudhu’ laki laki menjadi batal jika
bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahramnya. Sedankan mazhab hanafi
berpegang pada makna majaznya, sehingga
wudhu’ baru batal jika bersetubuh. Sedangkan jika hanya bersentuhan kulin saja
, tidak membatalkan wudhu’.
Masalah
masalah kebahasan lainya yang melahirkan tunjukan ayat menjadi bersifat zhanni
adlah amm dan khashsh, muthlaq dan muqayyad, tinjawan dari suatu lafal dari
segi kekuatanya terhadap suatu makna, dan beberapa masalah lainya yang
berkaitan dengna kebahasaan
b.
Faktor
rumusan- rumusan syara’
Faktor
faktor Rumusan syara’ini, antara lain,
berkaitan degan naskh, tarjih, pertentangan dalil dalil syara’ dan kaidah
kaidah ushuliyyah. Persoalan ini akan diuraikan lebih luas pada pembahasn
tentang maqashid asy-syariah.
Sunah uhad dzaniyah itu datangnya dari
rasul, karena sanadnya tidak
mempergunakan qathi’. Bila ditinjau dari pihak dalil, maka tiap tiap sunah dari
pembagian yang tiga ini, kadang kadang dalilnya qath’I dan kadang kadang
dzanni. Bila dibandingkan nash Al Qur’an dengan sunah nash dari pihak qath’I
dan dzanni, maka dapat disimpulkan bahwa dalil Al Qur’an itu semuanya qath’I
dan dzanni. Dan dari nash inilah datangnya dalil qath’I dan dalil dzanni.
Sedangkan sunah, daipadanyalah datangnya qath’I
wujud. Dan keduanya ini (Al quran
dan sunah) kadang kadang dalilnya itu qath’I dan kadang kadang dzanni.
Dari
pembagian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa sunah itu ada yang mutawatir,
ada yang masyhur, dan ada pula yang uhad. Dengan demikian maka hujah itu wajib
mengikut dan mengamalkanya. Mutawatir karna jelas dan tegas sumbernya datang
dari rasulallah SAW. Selain dari itu dzanni dianggap kuat, apabila
perawinya itu cukup adil, betul dan kuat,
maka wajib diamalkan. Untuk itu hakim dalam memutus perkara maka harus dengan
saksi yang menyaksikan peristiwa itu. Dugaan itu dikuatkan dengan saksi.
Sembahyang itu sah, bila menghadap ke kakbah. Disini hanya mempergunakan
dzanni. Kebanyakan hokum hokum itu dibana atas dzanni. Memang diperlukan yang
qath’I dan yakin dalam urusan amaliyah.
2.4.
Karakteristik dan Bentuk Bentuk Penjelasan Hukum Al qur’an
Perlu
segera ditegaskan bahwa al quran bukanlah kitab hokum, apalagi kitab undang
undang yang menampilkan diri sebagai kumpulan peraturan yang ersifat sistematis
dan terperinci pasal dan bersifat spesifik.
Sebagaimana
Ditegaskan Al Quran Sendiri, Sebagai Kitab Wahyu, Fungsi Al Quran, Antara Lain:
a) Sebagai
Al-Huda (Petunjuk) Bagi Manusia Yang Bertakwa Untuk Keselamatan Dan
Kebahagianyan Di Dunia Dan Di Akhirat;
b) Sebagai
Rahmat Yang Mengantarkan Manusia Untuk Hidup Dengan Penuh Kasih Sayang, Dan
Sebagai Bukti Bahwa Tuhan Maha Pengasih Dan Penyayang;
c) Sebagai
Mawa’izhaha (Bimbingan Dan Pengajaran) Bagi Manusia Untuk Mencapai
Keluhuran Dan Kesucian Fitrahnya;
Sebagai Tibyan (penjelasan) dan tafshil
(pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu diketahui manusia untuk kepentingan
keselamatanya didunia dan akhirat;
d) Sebagai
furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah,
yang berbeda dalam jalan yang benar dan yang sesat);
e) Sebagai
nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk melihat kebenaran dan menjadi
benar dalam hidupnya..
Akan
tetapi, meskipun al qur’an bukan kitab undang undang, namun didalam fungsinya
sebagai furqan , tafshil dan tibyan, al quran mengandung ayat ayat yang berisi
ketentuan ketentuan hokum islam. Sesuai dengan kedudukanya sebagai sumber hokum
utama dan pertama dari hokum islam, sebagai juga halnya dengan undang undang
dasa suatu Negara, aturan dan ketentuan hokum yang terdapat di dalamnya, pada
umumnya mengatur hal hal yang bersifat umum dan pokok. Penjabatan lebih lanjut
dari ketentuan ketentuan tersebut
dijabarkan oleh sunnah nabi SAW.[7]
Ketentuan
ketentuan hokum islam yang terdapat dalam al qur’an ada yang bersifat perintah,
bersifat larangan, dan ada pula yang bersifat pilihan untuk berbuat atau tidak
berbuat.
Untuk
menggambarkan suatu perintah , al qur’an menggunakan bentuk bentuk ungkapan
kalimat yang berbeda. Terkadang al quran menggunakan kalimat perintah secara
langsung dalam bentuk fi’l amr. Misalnya, dalam surah an-nisa (4):77:
وٲ قيمواا لصلوة وءاتواالزكوة
Artinya
:”Dan dirikanlahshalat, tunaikanlah
zakat”.
Pada
ayat yang lain, al qur’an menggunakan bentuk kata (fi’l madhi li al majhul .
misalnya, perintah puasa yang terdapat dalam surah al baqarah (2):183
يايھاالذينءامنوا كتب عليكم الصيام
كم كتب عل الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya:”Hai orang orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimanadiwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Sementara
pada ayat yang lain, bentuk peintah al qur’an menggunakan cara menjanjikan
kebaikan, pahala dan pujian kepada orang yang melakukan sesuatu
perbuatan.misalnya, dalam surah an-nur
(24):52
ومن يطع الله ورسوله، ،ويخش الله
ويتقه فأولئك ھم آلفا إزون
"Dan barang siapa yang taat kepada
allah dan rasulnya dan takut kepada allah dan bertaqwa kepadanya, maka mereka
adalah orang orang yang mendapat kemenangan.
Selain
menggunakn bentuk perintah yang
berbeda-beda, bentuk perintah al qur’an
itu sendiri ada yang menunjukan
pengertian meski dilaksanakan (wajib), dimana pelaksanaanya bersifat suatu
kemestian, ada pula yang menunjukan anjuran (sunnah, mustahab).
Selanjutnya
sebagaimana bentuk-bentuk perintah,
bentk larangan al qur’an juga digambarkan dalam bentuk yang
berbeda-beda. Terkadang al quran mengemukakan aranganya dalam bentuk kalimat
larangan secara langsung, misalnya, dalam al baqarah (2):42:
وע تلبسواا لحق با لبطل
وتكتمواالحق وأنتم تعلمون
Artinya :”Dan janganlah kamu campuradukan yang hak dengan yng batil dan janganlah
kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya”.
Terkadang al quran mengemukakan
laranganya dalam bentuk ancaman bagi pelaku perbuatan yang dilarangnya.
Misalnya, pada surah an-nissa’(4):10:
ل آليتم ضلما إنم يأكلو ن فى بطو نھم
ڹا را، وسيصلوڹ سعر أمو كلون يأ
آلذين إن
Artinya:
“Sesungguhnya orang orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala nyala (neraka)”.
Pada bagian yang lain, al quran
terkadang menggambarkan larangan dalam bentuk kalimat berita, tetapi dengan
membacanya diketahui bahwa kalimat berita tersebut berisi larangan. Misalnya,
wanita yang ditalak suaminya tidak boleh melakukan perkawinan sebelum menjalani
masa iddah selama tiga quru’, sebagaimana disebutkan dalam surah al baqarah
(2): 228:
لمطللقت يتربصن بأنفسھن ثلثة قروء ا و
Artinya:”Wanita wanita yang ditalak suaminya
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Terkadang al qur’an menyampaikan
laranganya dengan menyebutkan hokum perbuatan yang dilarang. Misalnya dalam
surah al-maidah,(5):3)
حرمت عليكم آلد م و لحم
آلخنز ير وم أھل لغير آلله به
Artinya:”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah,daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain alllah”.
Sebagaimana perintah, larangan al qur’an juga ada yang bersifat mutlak dan mesti ditinggalkan
(haram), tetapi ada yang bersifat anjuran untuk
meninggalkanya (makruh).
Selanjutnya, berbeda dengan perintah
dan larangan, ada pula bentuk penjelasan al qur’an yang ketiga, yaitu yang
berkaitan dengan perbuatan yang dibolehkan (mubah). Untuk menjelaskan
kententuan hokum perbuatan yang bersifat mubah ini, terkadang al quran
menjelaskan dengan menyatakan perbuatan tersebut halal. Misalnya, ketika
menjelaskan ke halamna jual beli dan keharaman riba dalam surah al baqarah (2): 275:
بوا االر
مثل البيع إنما قلو بأنھم
لك ذ
Artinya:”Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal allah telah menghalalkan jual.
Sebagaimana
telah dijelaskan pada urayan tentang sifat qaht’I an zhanni dari tunjukan makna
ayat ayat al quran, maka dalam memahami ayat ayat yang berkaitan dengan hukum,
tidak terlepas dari dua kategori tersebut. Artinaya, ada perintah perintah dan
larangan larangan al qur’an yang bersifat jelas maknanya (qath’I ad-dahalalah),
tetapi adapula yang sifatnya tidak jelas maknanya (zhanni ad-dhallah).
Untukmemahami bentuk ayat ayat al quran dalam bentuk zhanni ad-dhalalah
diperlukan penjelasan dari hadis hadis nabi, ataupun melalui penelitian
penelitian ilmiah yang berdasarkan metodologi dan pendekatan yang benar.
2.5.Ayat
Ayat tentang hukum Al-qur’an
sebagaimana telah dijelaskan, al quran
bukanlah kitab buku, karna ayat ayat al quran yang mengandung hokum menurut
sebagian pendapathanya sekitar 500 ayat.[8]
Bahkan mnurut ulama lainya, hanya sekitar 150 ayat. Ayat ayat al quran yang
berkaitan dengan masalah hokum yang jumlahnya yang terbatas itu, berisi aturan
aturan tentang hubungan manusia dengan allah, hubungan antar sesame manusia,
dan hubungan manusia dengna alam sekitarnya, ayat ayat yang mengatur hubungna
manusia dengna allah disebut ibadah. Misalnya, sholat, puasa, zakat, haji, dan
ibadah ibadah lainya. Adapun hubungan dengna sesame manusia, secara garis besar
disebut dengan muamalah. Dalam kelompok ini, termasuk didalamnya:
a) Ketentuan
ketentuan yang berkaitan engan masalah transaksi transaksi bisnis (jual beli,
sewa menyewa, utang piutang, gadai dan upah dan yang berkaitan dengan harta
lainya (muamalah) dalam arti sempit;
b) Ketenyuan
ketentuan tentang perkawinan (munakahat), dan yang berkaitan dengnya, seperti:
percerayan, talak, rujuk, pengasuhan anak dan lain lainya;
c) Ketentuan
ketentuan tentang masalah kewarisan (mirats), dan wasiat;
d) Ketentuan
ketentuan tentang hokum pidana
(jinayat), seperti; pencurian, perampokan, perusakan harta benda, pembunuhan
dan perzinahan, dan semua masalah yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
harta dan seksual
e)
Ketentuan ketentuan tentang peradilan
(murafa at qadha), misalnya gugatan pembuktian kesaksian bandingan dan lain lain;.
BAB
III
KESIMPULAN
Kata qath’I ialah merupakan
(mashdar) dari kata qatha’a, yaqtha’u, qath’an yang berarti abana, yubinu,
ibanatan yang artinya memisahkan menjelaskan.kata qath’I juga berarti pasti,
jelas. Secara etimology
qath’i dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh
dengan cara menghilangkannya atau memotongnya
Pertama: Dalil qath’i
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa
ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya.
Kedua: Dalil dzanni
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah
satunya.