Selasa, 27 Januari 2015

dalil qhti dan zani



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang masalah
nash dalam Al-Qur’an semuanya adalah pasti (qath’i) bila ditinjau dari datangnya, ketetapannya, dan ke-nukilan-nya dari rasulullah saw kepada umatnnya. Rasulullah saw wafat ketika ayat al-Qur’an telah dita’winkan (dibukukan) menurut kebiasaan penta’winan bangsa arab. Ketika zaman Abu Bakar As-Shiddiq, beliau mengumpulkan al-Qur’an dengan pelantara Zaid bin Tsabit dengan sebagian para sahabat yang dikenal hafalannya.
 Kemudian Al-Qur’an dihimpun berdasarkan urutan yang pernah dibacakan Rasulullah saw semasa hidupnya. Upaya memelihara Al-Qur’an yang telah dihimpun ini dilakukan oleh Abu Bakar semasa hidupnya, kemudian dilanjutkan oleh umar bin khottob. Sepeninggal Umar, himpunan al-Qur’an itu diserahkan kepada putrinya Hafsah, Ummul mu’minin. ketika utsman menjadi khalifah, kumpulan al-Qur’an itu diambil dan di mushafkan (dibukukan) Pembukuan itu dilakukan melalui Zaid bin Tsabit dibantu beberapa sahabat kemudian dikirim kebeberapa negeri Islam
Dengan demikian Abu Bakar berhasil memelihara himpunan al-Qur’an, kemudian disebarkan keseluruh umat Islam, sehingga mereka tidak saling berbeda dalam membacanya.
1.2. Rumusan Masalah
a.       Apakah pengertian qath’i dan dzanni?
b.      Apasajakah sifat Qath’I dan Zhanni dalam ayat ayat Al qur’an?
c.       Apasajakah faktor faktor  terjadinya zhanni ad-dalalah?
d.      Bagaimanakah karakteristik dan bentuk bentuk Penjelasan Hukum Al qur’an?
e.       Apasajakah ayat ayat tentang hukum Al-qur’an?



1.3. Tujuan Masalah
a.       Untuk memahami pengrtian qath’I dan dzanni
b.      Untuk mengetahui sifat Qath’I dan Zhanni dalam ayat ayat Al qur’an?
c.       Untuk lebih paham tentang faktor faktor  terjadinya zhanni ad-dalalah?
d.      Untuk lebih memahami karakteristik dan bentuk bentuk Penjelasan Hukum Al qur’an?
e.       Untuk mengetahui ayat ayat tentang hukum Al-qur’an?


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian qath’i dan dzanni
Kata qath’I ialah merupakan (mashdar) dari kata qatha’a, yaqtha’u, qath’an yang berarti abana, yubinu, ibanatan yang artinya memisahkan menjelaskan.kata qath’I juga berarti pasti, jelas. Secara etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh dengan cara menghilangkannya atau memotongnya.[1] Tetapi dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna keyakinan, kepastian, sesuatu yang bersifat tetap.
Sedangkan secara terminology bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”. [2]
Kedua: Secara etimology dzanni bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan.
Sedangkan secara terminology bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Dalil qath’i dan dzanni
Pertama: Dalil qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya. Atau bisa juga diartikan: ”sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad, dalalah dan sifatnya yang tetap”. Ada yang menambahkan: “qath’i adalah sesuatu yang pasti dilihat dari segi matan dan dalalahnya”.
Contoh:
An-nisa:4
أَقِيْم الصَّلَاة
Artinya : “ Dirikanlah Shalat”

Jika perhatian hanya ditunjukkan kepada nash Al-Qur’an yang berbunyi Aqimu Al-Shalah, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak ayat Al-Qur’an yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib. kepastian tersebut datang dari pemahaman  terrhadap nash-nash lain (yang walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam contoh diatas, ditemukan selaan banyak ayat atau hadits yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut :
a.       pujian kepada orang-orang yang shalat
b.         celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya.
c.           perintah kepada  mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang dalam keadaan berdiri atau bila udzur duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat.
d.      Pengalaman-pengalaman yang telah diketahui secara turun temurun dari Rasulullah saw, sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat Aqimu al-Shalah secara pasti atau qath’iy mengandung makna wajibnya shalat. juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimus shalah, menjadi aksioma. Di sini  berlaku ma’lum min al-din al-dharurah. Biasanya, ulama-ulama Ushul Fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i. Sebab jika mereka menunjuk kepad nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang  –bagi mereka yang tidak mengetahui ijma’ itu-  untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Maka, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma’.
Contoh
QS. Al Baqarah : 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَر بصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوْءٍ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (Q.S. Al Baqarah : 228).     
Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih).  Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’. dengan demikian, akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor. jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’i. karena itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa menunggu  (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali bersih dan ada yang mengatakan tiga kali haidh.
Kedua: Dalil dzanni adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah satunya”. Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya nash yang tidak qath’i”.

 2.2. Sifat Qath’I dan Zhanni dalam Ayat Ayat Al qur’an
Sebagaiman telah disebutkan, ditinjau dari segi kepastian keberadaan ayat ayat al quran, semua  ayat al quran yang terdapat dalam mushaf utsmani adalah bersifat qath’I ats-tsubut, yang keberadaanya pasti. Artinya secara menyakinkan semua ayat ayat tersebut pasti berasal dari rasullullah SAW, dan tidak ada satu ayat atau satu kata pun di dalamnya berasal dari pemikiran atau reka rekaan sahabat.[3] Sebab semua kata kata dan ayat ayatnya diriwayatkan secara mutawatir dan melalui suatu vertifikasi ilmiah yang sangat teruji, yang sampai sekarang belum ada satu penelitian ilmiah yang mampu menandingi ketelitianya. Dengan demikian, tidak ada satu penelitian ilmiah yang mampu menandingi ketelitianya. Dengan demikian, tidak ada satu ayat pun didalam al quran yang bersifat dzanni ats-tsubut, yang keberadaanya tidak pasti.[4]
Dalam itu, ditinjau dari segi tunjukan (dalalah) makna yang terkandung di dalamnya, dapat dibagi dua.

a.               Ayat ayat al qur’an yang bersifat qath’I ad-dalalah.
b.              Ayat ayat al qur’an yang bersifat zhanni ad-dalalah

Adapun yang dimkasut  dengan ayat ayat al quran yang bersifat qath’I ad-dalalah ialah, ayat ayat  yang tunjukan maknanya bersifat pasti, dalam arti,  hanya mengandung suatu makna saja. Ayat ayat yang bersifta qath’I ad-dalalah ini, antara lain, ayat ayat yang menjelaskan tentang pokok pokok keimanan, seperti: tentang keesaan allah, keberadaan dan misi para rasul, tentang malaikat, kitab kitab suci yang diturunkan dan tentang  kepastian  datang hai kiama; tentang kewajiban kewajiban utama sebagaiman yang  dirumuskan  dalam rukun islam, dan beberapa masalah hokum islam lainya, seperti:haramnya  riba dan makan babi; tentang tujuan tujuan utama pensyariatan hokum islam (maqashid asy-syari’ah), yaitu meraih manfaat dan kemaslahatan, serta menolak bahaya dan kemudhratan.[5]
Ayat ayat bersifat qath’I ad-dalalah, jika dilihat secara sendiri sendiri dan terpisah  dari ayat ayat lainya, dapat saja bersifat zhanni. (relative). Akan tetapi, karena didukung oleh penjelasan dari berbagai ayat maupun keterangna hadisyang sangat kuat, maka maknanya berubah  menjadi bersifat qath’I (pasti).
Selanjutnya yang dimaksut dengna yata ayat al qur’an yang bersifat zhanni ad-dalalah ialah, ayat ayat yang  tunjukan maknanya mengandung lebih dari satu makna. Meskipun keberadaan teks/redaksi/nashsh semua ayat ayat al qur’an bersifat pasti, namun dari segi makna yang terkandung didalam ayat ayatnya, terdapat banyak makna ayat yang bersifat zhanni ad-dalalah.
2.3.Faktor faktor  terjadinya zhanni ad-dalalah
Terutama dalam bidang hokum islam, terjadinya zhanni  ad-dhalalah karena dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu: faktor kebahasaan dan faktor rumusan rumusan syara’ yang berkaitan dengn prinsip prinsip hukum isominalam.[6]
a.       Faktor kebahasaan
Masalah masalah kebahasaan dapat dipandang merupakan faktor yang paling dominan melahirkan ketidakpastian makna suatu ayat. Faktor kebahasaan ini, antara lain, lafal musytarak (kata yang engandung lebih dari satu makna). Contohnya, dalam surat al baqarah (2): 228:
وآ لمطلقت يتر بصن بآ نفسھن ثلثة قروء  
Artinya:”Wnita wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Dalam bahasa arab kata quru’ sebagaimana yang terdapat dalam ayat diatas mengandung arti suci, dan dapat pula mengandung arti haid. Karena kedua makna tersebut sama kuat dalam bahasa arab. Oleh karena itu, mazhab  asy syafi’I berpendapat maknanya suci.akiabat hukunya, menurut mazhab ini, masa iah wanita yang ditalak suaminya lebih pendek, jika dibandingkan dengan pendapat mazhab hanfi yang berpendapat makna kata quru’ adalah haid
Contoh lafal musytarak lainya ialah, kata aw (atau) dalam surah al-maidah (6):33:
 إ نم جزوآ آلذين يح ربون آلله ورسوله٬ ويسعو ن في آעرض فسادا أن يقتلوآ أو يصلبو أو تقطع أيديھم وأر  جلھم من خلف أو  يصلبوآ أو تقتع أيديھم وآر جلھم من خلف أو ينفوآ من آע رضى   
Artinya:”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang yang memerangi allah dan rasulnya  dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotng tangan dan kaki mereka dengan cara silang , atau dibuang dari negri (tempat kediamanya)”.
Kata sandang aw (atau) dalam ayat diatas dapat menunjuk pengertian memilih alternative yang ada.oleh karna itu, sebagian ulama berpendapat, seorang hakim dapat memilih salah satu hukuman yang uhi dipandangnya efektif mencapai tujuan pemidanaan dari antara beberapa hukuman yang disebutkan dalam ayat diatas terhadap pelaku terror dalam masyarakat. Akan tetapi, kata aw (atau) juga dapat menunjuk pengertian memerinci bentuk hukuman. Berdasakan pengertian ini, sebagian ulama lainya berpendapat, hakim menjatuhkan vonis hukuman terhadappelaku teror dimasyarakat sesuai dengan dampak yang ditimbulkan perbuatan teror tersebut. Dalam hal ini, teroris yang menciptakan ketakutan dimasyarakat dan menjarah harta, maka hukumanya  potong tangna dan kaki secara silang. Sedangkan teroris yang telah menjelajah dan membunuh, dijatuhi hukuman potong tangan dan kaki kemudian salib. Sementara teroris yang hanya menciptakan ketakutan  dimasyarakat tetapi  tidak menjelajah dan membunuh, hukumanya hanya diasingkan saja, tanpa dipotong tangan  dan kakinya dan tanpa disalib.
Faktor kebahasaan lainya adalah dari segi majaz. Contohnya makna al-lams yang terdapat dalam  surah an-nisa’ (4):43:
وٳن كنتم مر ضى ٲو عل سفر أو جا ء أحد منكم من آ لغاوءط أو لمستم آلنسا ء فلم تجدوا ما ء فتيمموا صعدا طيبا    

Artinya:”Dan jika kanu sakit atau dalam keadaan musafir atau datang  dari tempat buang air  atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)”.
Kata lamastum  dalam ayat diatas dapat mengandung makna majas dalam arti bersetubuh . mazhab asy syafi’I berpegang pada makna hakiki , sehingga menurut mazhab ini,wudhu’ laki laki menjadi batal jika bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahramnya. Sedankan mazhab hanafi berpegang pada makna  majaznya, sehingga wudhu’ baru batal jika bersetubuh. Sedangkan jika hanya bersentuhan kulin saja , tidak membatalkan wudhu’.
Masalah masalah kebahasan lainya yang melahirkan tunjukan ayat menjadi bersifat zhanni adlah amm dan khashsh, muthlaq dan muqayyad, tinjawan dari suatu lafal dari segi kekuatanya terhadap suatu makna, dan beberapa masalah lainya yang berkaitan dengna kebahasaan
b.           Faktor  rumusan- rumusan syara’
Faktor faktor  Rumusan syara’ini, antara lain, berkaitan degan naskh, tarjih, pertentangan dalil dalil syara’ dan kaidah kaidah ushuliyyah. Persoalan ini akan diuraikan lebih luas pada pembahasn tentang maqashid asy-syariah.
       Sunah uhad dzaniyah itu datangnya dari rasul, karena sanadnya  tidak mempergunakan qathi’. Bila ditinjau dari pihak dalil, maka tiap tiap sunah dari pembagian yang tiga ini, kadang kadang dalilnya qath’I dan kadang kadang dzanni. Bila dibandingkan nash Al Qur’an dengan sunah nash dari pihak qath’I dan dzanni, maka dapat disimpulkan bahwa dalil Al Qur’an itu semuanya qath’I dan dzanni. Dan dari nash inilah datangnya dalil qath’I dan dalil dzanni. Sedangkan sunah, daipadanyalah datangnya qath’I  wujud. Dan keduanya ini  (Al quran dan sunah) kadang kadang dalilnya itu qath’I dan kadang kadang dzanni.
Dari pembagian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa sunah itu ada yang mutawatir, ada yang masyhur, dan ada pula yang uhad. Dengan demikian maka hujah itu wajib mengikut dan mengamalkanya. Mutawatir karna jelas dan tegas sumbernya datang dari rasulallah SAW. Selain dari itu dzanni dianggap kuat, apabila perawinya  itu cukup adil, betul dan kuat, maka wajib diamalkan. Untuk itu hakim dalam memutus perkara maka harus dengan saksi yang menyaksikan peristiwa itu. Dugaan itu dikuatkan dengan saksi. Sembahyang itu sah, bila menghadap ke kakbah. Disini hanya mempergunakan dzanni. Kebanyakan hokum hokum itu dibana atas dzanni. Memang diperlukan yang qath’I dan yakin dalam urusan amaliyah.

2.4. Karakteristik dan Bentuk Bentuk Penjelasan Hukum Al qur’an
Perlu segera ditegaskan bahwa al quran bukanlah kitab hokum, apalagi kitab undang undang yang menampilkan diri sebagai kumpulan peraturan yang ersifat sistematis dan terperinci pasal dan bersifat spesifik.
Sebagaimana Ditegaskan Al Quran Sendiri, Sebagai Kitab Wahyu, Fungsi Al Quran, Antara Lain:
a)      Sebagai Al-Huda (Petunjuk) Bagi Manusia Yang Bertakwa Untuk Keselamatan Dan Kebahagianyan Di Dunia Dan Di Akhirat;
b)      Sebagai Rahmat Yang Mengantarkan Manusia Untuk Hidup Dengan Penuh Kasih Sayang, Dan Sebagai Bukti Bahwa Tuhan Maha Pengasih Dan Penyayang;
c)      Sebagai Mawa’izhaha (Bimbingan Dan Pengajaran) Bagi Manusia Untuk Mencapai Keluhuran  Dan Kesucian Fitrahnya; Sebagai Tibyan  (penjelasan) dan tafshil (pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu diketahui manusia untuk  kepentingan  keselamatanya didunia dan akhirat;
d)     Sebagai furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang berbeda dalam jalan yang benar dan yang sesat);
e)      Sebagai nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk melihat kebenaran dan menjadi benar dalam hidupnya..
Akan tetapi, meskipun al qur’an bukan kitab undang undang, namun didalam fungsinya sebagai furqan , tafshil dan tibyan, al quran mengandung ayat ayat yang berisi ketentuan ketentuan hokum islam. Sesuai dengan kedudukanya sebagai sumber hokum utama dan pertama dari hokum islam, sebagai juga halnya dengan undang undang dasa suatu Negara, aturan dan ketentuan hokum yang terdapat di dalamnya, pada umumnya mengatur hal hal yang bersifat umum dan pokok. Penjabatan lebih lanjut dari ketentuan ketentuan tersebut  dijabarkan oleh sunnah nabi  SAW.[7]
Ketentuan ketentuan hokum islam yang terdapat dalam al qur’an ada yang bersifat perintah, bersifat larangan, dan ada pula yang bersifat pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Untuk menggambarkan suatu perintah , al qur’an menggunakan bentuk bentuk ungkapan kalimat yang berbeda. Terkadang al quran menggunakan kalimat perintah secara langsung dalam bentuk fi’l amr. Misalnya, dalam surah an-nisa (4):77:
وٲ قيمواا لصلوة وءاتواالزكوة
Artinya :”Dan dirikanlahshalat, tunaikanlah zakat”.

Pada ayat yang lain, al qur’an menggunakan bentuk kata (fi’l madhi li al majhul . misalnya, perintah puasa yang terdapat dalam surah al baqarah (2):183
يايھاالذينءامنوا كتب عليكم الصيام كم كتب عل الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya:”Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimanadiwajibkan atas orang orang   sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Sementara pada ayat yang lain, bentuk peintah al qur’an menggunakan cara menjanjikan kebaikan, pahala dan pujian kepada orang yang melakukan sesuatu perbuatan.misalnya, dalam surah  an-nur (24):52
ومن يطع الله ورسوله، ،ويخش الله ويتقه فأولئك ھم آلفا إزون
"Dan barang siapa yang taat kepada allah dan rasulnya dan takut kepada allah dan bertaqwa kepadanya, maka mereka adalah orang orang yang mendapat kemenangan.
Selain menggunakn bentuk  perintah yang berbeda-beda, bentuk perintah al qur’an  itu  sendiri ada yang menunjukan pengertian meski dilaksanakan (wajib), dimana pelaksanaanya bersifat suatu kemestian, ada pula yang menunjukan anjuran (sunnah, mustahab).
Selanjutnya sebagaimana bentuk-bentuk perintah,  bentk larangan al qur’an juga digambarkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Terkadang al quran mengemukakan aranganya dalam bentuk kalimat larangan secara langsung, misalnya, dalam al baqarah (2):42:
وע تلبسواا لحق با لبطل وتكتمواالحق وأنتم تعلمون   
            Artinya :”Dan janganlah kamu campuradukan yang hak dengan yng batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya”.
            Terkadang al quran mengemukakan laranganya dalam bentuk ancaman bagi pelaku perbuatan yang dilarangnya. Misalnya, pada surah an-nissa’(4):10:
ل آليتم ضلما إنم يأكلو ن فى بطو نھم ڹا را، وسيصلوڹ سعر  أمو كلون يأ آلذين إن


Artinya: “Sesungguhnya orang orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala nyala (neraka)”.
            Pada bagian yang lain, al quran terkadang menggambarkan larangan dalam bentuk kalimat berita, tetapi dengan membacanya diketahui bahwa kalimat berita tersebut berisi larangan. Misalnya, wanita yang ditalak suaminya tidak boleh melakukan perkawinan sebelum menjalani masa iddah selama tiga quru’, sebagaimana disebutkan dalam surah al baqarah (2): 228:
لمطللقت يتربصن بأنفسھن ثلثة قروء  ا و   

Artinya:”Wanita wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
            Terkadang al qur’an menyampaikan laranganya dengan menyebutkan hokum perbuatan yang dilarang. Misalnya dalam surah al-maidah,(5):3)
  حرمت عليكم آلد م و لحم آلخنز ير وم أھل لغير آلله به

Artinya:”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain  alllah”.
            Sebagaimana perintah,  larangan al qur’an juga ada  yang bersifat mutlak dan mesti ditinggalkan (haram), tetapi ada yang bersifat anjuran untuk  meninggalkanya (makruh).
            Selanjutnya, berbeda dengan perintah dan larangan, ada pula bentuk penjelasan al qur’an yang ketiga, yaitu yang berkaitan dengan perbuatan yang dibolehkan (mubah). Untuk menjelaskan kententuan hokum perbuatan yang bersifat mubah ini, terkadang al quran menjelaskan dengan menyatakan perbuatan tersebut halal. Misalnya, ketika menjelaskan ke halamna jual beli dan keharaman riba  dalam surah al baqarah (2): 275:
 بوا االر مثل البيع إنما قلو بأنھم لك ذ 
Artinya:”Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal allah telah menghalalkan jual.
Sebagaimana telah dijelaskan pada urayan tentang sifat qaht’I an zhanni dari tunjukan makna ayat ayat al quran, maka dalam memahami ayat ayat yang berkaitan dengan hukum, tidak terlepas dari dua kategori tersebut. Artinaya, ada perintah perintah dan larangan larangan al qur’an yang bersifat jelas maknanya (qath’I ad-dahalalah), tetapi adapula yang sifatnya tidak jelas maknanya (zhanni ad-dhallah). Untukmemahami bentuk ayat ayat al quran dalam bentuk zhanni ad-dhalalah diperlukan penjelasan dari hadis hadis nabi, ataupun melalui penelitian penelitian ilmiah yang berdasarkan metodologi dan pendekatan yang benar.

2.5.Ayat Ayat tentang hukum Al-qur’an
 sebagaimana telah dijelaskan, al quran bukanlah kitab buku, karna ayat ayat al quran yang mengandung hokum menurut sebagian pendapathanya sekitar 500 ayat.[8] Bahkan mnurut ulama lainya, hanya sekitar 150 ayat. Ayat ayat al quran yang berkaitan dengan masalah hokum yang jumlahnya yang terbatas itu, berisi aturan aturan tentang hubungan manusia dengan allah, hubungan antar sesame manusia, dan hubungan manusia dengna alam sekitarnya, ayat ayat yang mengatur hubungna manusia dengna allah disebut ibadah. Misalnya, sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah ibadah lainya. Adapun hubungan dengna sesame manusia, secara garis besar disebut dengan muamalah. Dalam kelompok ini, termasuk didalamnya:
a)      Ketentuan ketentuan yang berkaitan engan masalah transaksi transaksi bisnis (jual beli, sewa menyewa, utang piutang, gadai dan upah dan yang berkaitan dengan harta lainya (muamalah) dalam arti sempit;
b)      Ketenyuan ketentuan tentang perkawinan (munakahat), dan yang berkaitan dengnya, seperti: percerayan, talak, rujuk, pengasuhan anak dan lain lainya;
c)      Ketentuan ketentuan tentang masalah kewarisan (mirats), dan wasiat;
d)     Ketentuan ketentuan tentang  hokum pidana (jinayat), seperti; pencurian, perampokan, perusakan harta benda, pembunuhan dan perzinahan, dan semua masalah yang berkaitan dengan kejahatan terhadap harta dan seksual
e)    Ketentuan ketentuan tentang peradilan (murafa at qadha), misalnya gugatan pembuktian kesaksian bandingan dan lain lain;.

















BAB III
KESIMPULAN
            Kata qath’I ialah merupakan (mashdar) dari kata qatha’a, yaqtha’u, qath’an yang berarti abana, yubinu, ibanatan yang artinya memisahkan menjelaskan.kata qath’I juga berarti pasti, jelas. Secara etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh dengan cara menghilangkannya atau memotongnya
            Pertama: Dalil qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya.
Kedua: Dalil dzanni adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah satunya.














[1] Abdul wahab khallaf’ ilmu ushul fiqh, Gema risalah press, bandung,: 1997, cet II, h 61
[2] Ibid h 62
[3] Abdul wahhab khallaf, Ilmu ushul fikih, Rineka cipta, jakarta:2005, hal 34

[4] Rahman Dahlan,Ushul Fiqh,Amzah,Jakarta:2010,hal 121
[5] Ibid hal 122
[6] Ibid hal 122-125
[7]Quraissh syihab, membumikan al-qur’an, Mizan, Bandung, 1999, hal 137

[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Dar al-Kuwaytiyah, Kuwait: 1968,  hal. 38

1 komentar:

  1. Lucky Numbers - Casino at O'Neil - MapyRO
    Get directions, reviews and information for 오산 출장안마 Lucky Numbers Casino at O'Neil in O'Neil, 김제 출장마사지 Oklahoma. 계룡 출장샵 Get 제천 출장안마 directions and 군포 출장안마 reviews.

    BalasHapus