BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suatu
masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah beban
pembuktian. Pembagian beban pembuktian harus dilakukan dengan adil, tidak berat
sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah a priori
menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang
kekalahan.
Soal pembagian beban pembuktian ini
dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan
sampai tingkat kasasi dimuka pengadilan Kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan
pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran
hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk
membatalkan putusan hakim atau pengadilan dibawahnya yang bersangkutan.
1.2.Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian
pembuktian?
b. Bagaimanakah teori pembuktian hokum positif?
c. Bagaimanakah teori
pembuktian hokum islam?
d. Apasajakah jenis jenis
alat bukti?
e. Mengapa kesaksian
sebagai alat bukti?
1.3. Tujuan masalah
a. Untuk memahami
pengertian pembuktian
b. Untuk mengetahui teori pembuktian
hokum positif
c. Untuk mengetahui teori
pembuktian perspektif hokum islam
d. Untuk mengetahui jenis
jenis alat bukti
e. Untuk memahami kesaksian
sebagai alat bukti
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Pengertian Pembuktian
Pembuktian menurut istilah bahasa arab
berasal dari kata “bayyinah” yang artinya suatu yang menjelaskan. Ibn
al-qayyim al-jauziyah dalam kitabnya at-turuq al-hukmiyah mengaertikan “bayyinah”
sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan
kebenaran sesuatu.[1]
pembuktian secara etimologi berasal dari “bukti” yang berarti sesuatu
peristiwa. Sedangkan secara terminologis, pembuktian berarti usaha menunjukkan
benar atau salahnya seseorang terdakwa dalam sidang pengadilan.
Menurut sobhi
mahmasoni, yang dimaksud dengan membuktikan adalah mengajukan alasan dan
memberikan dalil sampai pada batas yang meyakinkan. Yang dimaksud meyakinkan
adalah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian
dalil-dalil itu.
1.2. Teori Pembuktian dalam Hukum Positif
pembuktian adalah untuk mencari dan
menempatkan kebenaran materil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain.
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan Hakim yang harus memutuskan perkara.
Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya
pembuktian itu, maka Hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya
sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang
sebenarnya terjadi sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
Adapun jenis-jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah :
Teori pembuktian berdasarkan
undang-undang positif ( Positif Wettwlijks theorie).Hanya didasarkan pada Undang-undang saja. Artinya jika telah
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem ini disebut
juga teori pembuktian formal.(Formele bewijstheorie). dan teori
pembuktian ini sekatang tidak mendapat penganut lagi karena teori ini terlalu
banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut undang undan
Teori
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja.Berhadap-hadapan secara berlawanan
dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif ialah teori
pembuktian menurut keyakinan hakim saja. Didasari bahwa alat bukti berupa
pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan
kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan
yang didakwakan. Bertolak pengkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan
keyakinan hakim saja yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri
ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan
sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti
dalam undang-undang
Teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconvivtion Raisonnee). Sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu (la
conviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian ini disebut juga
pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije
bewijs theorie )
Teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif (negative wettelijk ).Menurut teori ini hakim hanya boleh
menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat
dari adanya alat-alat bukti itu.
Dalam
pasal 183 KUHAP dinyatakan sebagai berikut :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Maka menurut ketentuan pasal 183 KUHAP ini, dapat
disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian,
apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan
oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau itu cukup, maka
baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan
terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut
dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk,
berdasarkan undang-undang, sedangkan negative maksudnya adalah bahwa
walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang,
maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang
kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian negatif, alat-alat bukti limitatif
ditentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga
terikat pada ketentuan undang-undang
Dasar
hukum pembuktian hukum acara pidana Indonesia adalah peraturan pembuktian yang
diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), undang-undang RI.
Nomor 8 tahun 1981 Pasal 183 Selain itu, peraturan pembuktian juga diatur dalam
HIR (Herziene lnlands Reglemen) Pasal 294, yang isinya : “Seseorang tidak
dapat dipidana kecuali bila hakim mendapat keyakinan alat-alat bukti yang sah”.
Dari
pemaparan di atas dapat di mengerti, bahwa pada hakikatnya seseorang tidak
dapat dipidana jika tidak terpenuhinya alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP,
yaitu minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim itu sendiri
1.3.Teori Pembuktian Perspektif Hukum
Pidana Islam
Mengenai
sistem pembuktian dalam hukum pidana Islam, tidak berbeda dengan sistem dalam
hukum positif. Imam lbnu al-Qayim Al-Jauziah berpendapat dalam kitabnya
I’lamAl-Muwaqqi’in bahwa :
ان الشارع لم يقف في حفظ الحقوق البتة
على شهادة ذ كرين لافي الدماء ولافى الاموال ولافى الفروج ولافى الحدود بل قد
حدالخلفاءالراشدون والصحابة رضي الله عنهم فى الزنا باالحبل وفى الخمر بالرائحة والقيء.
Artinya
: "Sesungguhnya syari' tidaklah membatasi pengambilan keputusan untuk
memelihara hak semata-mata berdasarkan kesaksian dua orang saksi lelaki saja,
baik mengenai darah,harta, paraj, dan had, bahkan para khulafa’urrasyidin dan
sahahat r.a telah menghukum had pada zina dengan adanya bukti kehamilan dan
pada minum khamr, dengan adanya bau dan muntah”.[2]
Seorang
hakim dituntut untuk memutuskan suatu perkara dengan hujjah atau alasan yang
memihak kepada kebenaran apabila tidak ada tandingannya yang sama. Di samping
itu dituntut dari hakim dalam memutuskan perkara diantara dua orang, hendaklah
mengetahui apa yang terjadi kemudian ia memutuskan dengan apa yang wajib. Maka
bagi yang pertama tempat berpijaknya ialah kebenaran dan bagi hakim yang kedua
yang memutuskan antara dua orang tempat berpijaknya keadilan. Dibolehkan
bagi seorang hakim memutuskan dengan kesaksian lelaki bila ia mengetahui
kebenarannya. Allah SWT tidaklah mewajibkan para hakim agar tidak memutuskan
kecuali dengan dua saksi. Hanya Allah SWT menyuruh yang punya hak memelihara
haknya dengan dua saksi atau satu orang saksi lelaki dan dua orang saksi
perempuan.
Rasulullah
bersabda :
عن
ابن عبا س قا ل: قا ل رسول صلعم, لويعطي الناس بدعواهم لادعى ناس دماء رجال
واموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه (رواه مسلم)
Artinya : “Dari lbnu Abbas
berkata, bahwa Rasulallah SAW bersabda : Sekiranya diberikan kepada manusia apa
saja yang digugatnya, tentulah manusia akan menggugat apa yang dikehendakinya,
baik jiwa ataupun harta. Akan tetapi sumpah itu dihadapan orang yang tergugat”.
(H.R. Muslim)
Kemudian Sabda Rasulullah SAW yang
lain:
البينة على من ادعى واليمين على من انكر (رواه البيهقي)[4]
Artinya: “Bukti itu dibebankan
atas penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat (orang yang mengingkari
gugatan)” (H.R. Al-Baihaqi)
Kata al-Bayyinah
dalam kalam Allah SWT, Rasulullah SAW dan ucapan para Sahabat adalah nama bagi
setiap apa yang menerangkan Al-Haq (kebenaran).[3]
Atas
keterangan dari Al-Qur’an dan Hadist di atas, maka setiap perkara harus
dibuktikan. Pembuktian ini mencangkup semua perkara yang dihadirkan dalam
pengadilan, dan tidak akan mengabulkan dakwaan penggugat sebelum dapat
memastikan dan mendengarkan keterangan pihak yang tergugat.
Hukum Islam merupakan salah satu bentuk sistem
hukum yang mulai berkembang sejak kelahiran agama islam pada abad ke 6
Masehi. Hukum islam merupakan bagian
dari ajaran agama islam. Hal ini dikarenakan agama islam dalam ajarannya
melingkupi pengaturan mengenai hubungan antara manusia dengan tuhannya dan
hubungan antara manusia dengan sesama makhluk tuhan. Aturan tersebut yang
nantinya akan menjadi hukum dalam islam yang memiliki sumber utama yaitu
Al-Quran dan As-Sunnah. Hukum islam itu sendiri dapat dikategorisasikan kedalam
beberapa cabang hukum seperti hukum tata negara, hukum perdata, hukum
internasional, dan hukum pidana, yang nantinya akan dibahas lebih lanjut
terkait sistem pembuktian dalam hukum pidana islam.
Sebelum membahas tentang sistem pembuktian
dalam hukum islam, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai bentuk-bentuk
tindak pidana dalam hukum islam karena hal tersebut berkaitan dengan sistem
pembuktian dalam hukum islam. Didalam hukum islam tindak pidana atau dikenal
dengan istilah jarimah dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
a) Jarimah Hudud
b) Jarimah Qisas Diyat
c) Jarimah Ta’zir
Pembagian Jarimah diatas didasarkan dari segi
hukumannya yang diterima.
a) Jarimah Hudud
Merupakan jarimah yang hukumannya sudah ditentukan oleh Allah SWT
terkait bentuk dan banyaknya dan
merupakan hak Allah SWT yang artinya hukuman tersebut tidak dapat
dihapus oleh siapapun.[4]
Menurut Abdul Qader udah hukuman hudud ini dilakukan tanpa adanya pertimbangan
dari keluarga atau kelompok korban dan berdasarkan kepribadian pelaku. Selain
itu hakim juga tidak berhak memaafkan atau mengurangi hukuman hudud ini. Bentuk
jarimah yang masuk kedalam jarimah hudud ini antara lain berzina, menuduh
berzina, mencuri, merampok, memberontak, murtad, minum minuman keras atau
khamr, melakukan kerusakan di muka bumi. Alasan mengapa hukuman jarimah
merupakan hukuman yang harus dilaksanakan karena hal-hal yang dikategorikan
kedalam jarimah hudud merupakan hal-hal yang mengganggu lima tujuan dari agama
islam (al-maqasid al-khamsah). Isi dari al-maqasid al-khamsah ini antara lain
agama, keturunan, akal, jiwa, dan harta.
b) Jarimah Qisas Diyat
Merupakan jarimah yang pelakunya karena
perbuatannya diancam hukuman qisas atau diyat yang mana telah ditentukan
batasnya.[5]
Diyat biasanya berupa denda atau sejumlah barang atau uang yang harus
dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban atas apa yang sudah dilakukannya.
Yang termasuk jarimah qisas diyat antara lain adalah pembunuhan sengaja,
pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena sengaja, penganiayaan sengaja,
dan penganiayaan tidak sengaja.
c) Jarimah Ta’zir
Jarimah ta'zir merupakan bentuk
hukuman dalam islam yang berasal dari pemikiran akal yang berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah karena tidak diatur secara langsung atau belum diatur
oleh kedua sumber tersebut. Karenanya Ta'zir merupakan bentuk hukuman islam
yang dapat dikembangkan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan. Menurut
Al-Mawardi definisi dari ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak
pidana) yang ditentukan hukumannya oleh syara’”. Sebagaimana artinya yaitu
memberi pengajaran, maka prinsip dasar dari jarimah ta'zir adalah restoratif
dan pembinaan, rehabilitasi. Hukuman ta’zir ini ditentukan oleh penguasa
setempat yang berwenang dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
masyarakat dan syariah.
Dalam Hukum Pidana Islam sistem pembuktian
yang digunakan tidak menganut mutlak empat teori sistem pembuktian pada umunya
yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif,
berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung
oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. Hal ini
disebabkan untuk tiap kasus sistem pembuktiannya berbeda didasarkan pada bentuk
tindak pidananya. Contohnya adalah dalam pembuktian kasus zina yang
pembuktiannya dapat menggunakan persaksian, pengakuan, dan qarinah. Sedangkan
untuk kasus pembunuhan selain ketiga alat bukti dapat pula digunakan sumpah
(qasamah). Berdasarkan contoh tersebut maka dapat dilihat bahwa terdapat
perbedaan cara pembuktian. Pada umumnya pada kasus-kasus tindak pidana atau
jarimah hudud digunakan alat bukti pengakuan, persaksian, dan qarinah (alat
bukti). Karenanya dalam pembuktian hukum pidana islam lebih ditekankan pada
alat bukti yang digunakan untuk membuktikan tindak pidana tersebut. Berdasarkan
Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad beberapa ulama dan fuqaha maka terdapat
beberapa jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian hukum islam
antara lain adalah pengakuan, persaksian, sumpah (al-qasamah), dan petunjuk
(qarinah). Terkait alat bukti ini juga terdapat perbedaan pendapat terkait
jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan untuk tindak pidana atas jiwa
(pembunuhan), bukan jiwa (pelukaan), dan atas janin atau yang termasuk kedalam
jarimah qisas diyat. Pandangan pertama, menurut para jumhur ulama, untuk
pembuktian qisas dan diyat dapat digunakan 3 cara alat pembuktian yaitu
pengakuan, persaksian, dan al-qasamah. Sedangkan pendapat kedua, menurut
sebagian fuqaha seperti ibnu al-qayyim dari mahzab hanbali, untuk pembuktian
jarimah qisas dan diyat digunakan empat alat pembuktian yaitu pengakuan,
persaksian, al-qasamah (sumpah), dan qarinah (petunjuk)
1.4. Jenis-jenis Alat Bukti
Para ulama
berbeda pendapat mengenai jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam
tindak pidana. Pertama, menurut jumhur ulama’, untuk pembuktian jarimah qishash
dan diyat dapat digunakan tiga cara (alat) pembuktian: pengakuan, persaksian,
dan al-qosamah. Kedua, menurut sebagian fuqoha seperti Ibn Al-Qayyim dari mazab
Hambali, untuk pembuktian qishash dan diyat digunakan 4 cara pembuktian:
pengakuan, persaksian, al-qasamah, dan qarinah. Ketiga alat bukti tersebut
qasamah (pengakuan, persaksian, dan qarinah) merrpakan alat bukti yang banyak
digunakan dalam jarimah-jarimah hudud. Perbedaan pendapat antara para ulama’
hanya terdapat dalam alat bukti qarinah, meskipun alat bukti yang paling kuat
sebenarnya hanya ada dua, yaitu pengakuan dan persaksian. Qasamah sendiri juga
termasuk alat bukti yang di perselisihkan, walaupun ulama-ulama dan kalangan
mazab empat telah menyepakati
1)
Pengakuan
Pengakuan menurut arti bahasa adalah
penetapan. Sedangkan menurut syara’ adalah suatu pernyataan yang menceritakan
tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut.[6]
Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Adapun sumber dari Al-Qur’an tercantum dalam: surat An-Nisa’ ayat 35.
2)
Persaksian
Bayyinah dalam istilah
fuqaha’, syadanah (kesaksian). Tetapi Ibnu Al-Qayyim memaknakan bayyinah
dengan dengan segala yang dapat menjelaskan perkara. Syahadah adalah
mengemukakan, syahada (kesaksian) untuk menetapkan hak atas diri orang lain.
Dengan kesaksian yang cukup syarat, nyatalah kebenaran bagi hakim dan wajiblah
dia memutuskan perkara sesuai dengan kesaksian itu.
3)
Qasamah
Qasamah dalam
arti bahasa adalah al-yamin yang artinya sumpah.Menurut istilah, qasamah
didefinisikan sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan.
Abu Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili juga membuet definisi dengan menyatakan:
Arti qasamah menurut istilah fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang dalam
dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si pembunuh)
untuk membuktiakan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh tersangka
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan.
4)
Qarinah
Qarinah
merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana
pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain, seperti hudud,
qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina, misalnya qarinah sudah
dibicarakan, baik kegunaanya maupun dasar hukumnya. Salah satu conto qarina
dalam jarimah zina adalah adanya kehamilan dari seorang perempuan yang tidak
bersuami. Dalam jarimah syurbul khami (meminum-minuman keras), yang dapat
dianggap sebagai qarinah, misalnya bau minuman dari mulut tersangka. Dalam
tidak pidana pencurian, ditemukannya barang curian dirumah tersangka merupakan
suatu qarimah yang menunjukkan bahwa tersangka yang mencuri barang tersebut.
Pengertian qarinah menurut Wahbah
Zuhaili adalah sebagai berikut: Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang
jelas menyerai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjuk kepadanya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
untuk terwujudnya suatu qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:
a. Terdapat suatu keadaan yang jelas dan
diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan
b. Terdapat hubungan yang menunjukkan
adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yamng samar (khafi)
Dalam jarimah
qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka ihtiath
(hati-hati) guna menyelesaikan kasus pembunuhan, denga berpegang kepada adanya
korban ditempat tersangka menurut Hanafiyah, atau berpegang dengan adanya lauts
(petunjuk) menurut jumhur ulama’. Salah satu contoh lauts yang kemudian menjadi
petunjuk (qarina) adalah terdapatnya tersangka didekat kepala korban, badan dan
tangannya memegang pisau yang terhunus, serta badanya berlumuran darah. Adanya
tersangka didekat jasad korban dengan pisau terhunus dan badan serta pakaian
yang berlumuran darah merupakan petunjuk (qarinah) bahwa dialah orang yang
membunuh korban. Demikian pula ditemukanya korban di tempat (wilayah) tersangka
merupakan qarinah (petunjuk) bahwa pembunuhan dilakukan oleh penduduk diwilayah
tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
membuktikan
adalah mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai pada batas yang
meyakinkan. Yang dimaksud meyakinkan adalah apa yang menjadi ketetapan atau
keputusan atas dasar penelitian dalil-dalil itu
Dalam Hukum Positif pembuktian
adalah untuk mencari dan menempatkan kebenaran materil dan bukanlah untuk
mencari kesalahan orang lain. Dalam hokum islam tidak jauh berbeda dengan hokum positif yaitu Seorang hakim dituntut untuk memutuskan suatu
perkara dengan hujjah atau alasan yang memihak kepada kebenaran apabila tidak
ada tandingannya yang sama. Di samping itu dituntut dari hakim dalam memutuskan
perkara diantara dua orang, hendaklah mengetahui apa yang terjadi kemudian ia
memutuskan dengan apa yang wajib.dengan alat bukti sebagai berikut
a. Pengakuan
b. Persaksian
c. Qasamah
d. Qarinah
[1]
Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1995), hal. 151
[2]
Hasyim dkk, Teori Pembuktian menurut Fiqh Jinayah Islam ,(Yogyakarta graaha cipta), hal.
xi-xii
[3] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984, hal 77.
[4]
Topo Santoso Wismar dkk, Aspek Pidana
Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 3
[5]
Ibid, Hal 3
[6]
Abd Al-Qadir
Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, jus II, dar al-Kitab al-Arab,
Beirut, hal. 303
Poker Tournaments - KongPintar.com
BalasHapusThe game is based on kadangpintar the classic 바카라 사이트 poker septcasino game, and players can play in many variations with varying rules and conditions.