Selasa, 27 Januari 2015

Teori pembuktian jinayah



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah beban pembuktian. Pembagian beban pembuktian harus dilakukan dengan adil, tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan.
            Soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi dimuka pengadilan Kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan dibawahnya yang bersangkutan.

1.2.Rumusan Masalah
a.       Apakah pengertian pembuktian?
b.      Bagaimanakah  teori pembuktian hokum positif?
c.       Bagaimanakah teori pembuktian hokum islam?
d.      Apasajakah jenis jenis alat bukti?
e.       Mengapa kesaksian sebagai alat bukti?
1.3. Tujuan masalah
a.       Untuk memahami pengertian pembuktian
b.      Untuk mengetahui teori pembuktian hokum positif
c.       Untuk mengetahui teori pembuktian perspektif  hokum islam
d.      Untuk mengetahui jenis jenis alat bukti
e.       Untuk memahami kesaksian sebagai alat bukti



BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Pengertian Pembuktian
Pembuktian menurut istilah bahasa arab berasal dari kata “bayyinah” yang artinya suatu yang menjelaskan. Ibn al-qayyim al-jauziyah dalam kitabnya at-turuq al-hukmiyah mengaertikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.[1] pembuktian secara etimologi berasal dari “bukti” yang berarti sesuatu peristiwa. Sedangkan secara terminologis, pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya seseorang terdakwa dalam sidang pengadilan.
Menurut sobhi mahmasoni, yang dimaksud dengan membuktikan adalah mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai pada batas yang meyakinkan. Yang dimaksud meyakinkan adalah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dalil-dalil itu.
1.2. Teori Pembuktian dalam Hukum Positif
            pembuktian adalah untuk mencari dan menempatkan kebenaran materil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain. Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan Hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya pembuktian itu, maka Hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
Adapun jenis-jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah :
Teori pembuktian berdasarkan undang-undang positif ( Positif Wettwlijks theorie).Hanya didasarkan pada Undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal.(Formele bewijstheorie). dan teori pembuktian ini sekatang tidak mendapat penganut lagi karena teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut undang undan
                   Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja.Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim saja. Didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak pengkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim saja yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang
Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconvivtion Raisonnee). Sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije bewijs theorie )
Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negative wettelijk ).Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.
Dalam pasal 183 KUHAP dinyatakan sebagai berikut :
     “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Maka menurut ketentuan pasal 183 KUHAP ini, dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau itu cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang, sedangkan negative maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian negatif, alat-alat bukti limitatif ditentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang
Dasar hukum pembuktian hukum acara pidana Indonesia adalah peraturan pembuktian yang diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), undang-undang RI. Nomor 8 tahun 1981 Pasal 183 Selain itu, peraturan pembuktian juga diatur dalam HIR (Herziene lnlands Reglemen) Pasal 294, yang isinya : “Seseorang tidak dapat dipidana kecuali bila hakim mendapat keyakinan alat-alat bukti yang sah”.
Dari pemaparan di atas dapat di mengerti, bahwa pada hakikatnya seseorang tidak dapat dipidana jika tidak terpenuhinya alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim itu sendiri
1.3.Teori Pembuktian Perspektif Hukum Pidana Islam
Mengenai sistem pembuktian dalam hukum pidana Islam, tidak berbeda dengan sistem dalam hukum positif. Imam lbnu al-Qayim Al-Jauziah berpendapat dalam kitabnya I’lamAl-Muwaqqi’in bahwa :

ان الشارع لم يقف في حفظ الحقوق البتة على شهادة ذ كرين لافي الدماء ولافى الاموال ولافى الفروج ولافى الحدود بل قد حدالخلفاءالراشدون والصحابة رضي الله عنهم فى الزنا باالحبل وفى الخمر بالرائحة والقيء.

Artinya : "Sesungguhnya syari' tidaklah membatasi pengambilan keputusan untuk memelihara hak semata-mata berdasarkan kesaksian dua orang saksi lelaki saja, baik mengenai darah,harta, paraj, dan had, bahkan para khulafa’urrasyidin dan sahahat r.a telah menghukum had pada zina dengan adanya bukti kehamilan dan pada minum khamr, dengan adanya bau dan muntah”.[2]

Seorang hakim dituntut untuk memutuskan suatu perkara dengan hujjah atau alasan yang memihak kepada kebenaran apabila tidak ada tandingannya yang sama. Di samping itu dituntut dari hakim dalam memutuskan perkara diantara dua orang, hendaklah mengetahui apa yang terjadi kemudian ia memutuskan dengan apa yang wajib. Maka bagi yang pertama tempat berpijaknya ialah kebenaran dan bagi hakim yang kedua yang memutuskan antara dua orang tempat berpijaknya keadilan. Dibolehkan  bagi seorang hakim memutuskan dengan kesaksian lelaki bila ia mengetahui kebenarannya. Allah SWT tidaklah mewajibkan para hakim agar tidak memutuskan kecuali dengan dua saksi. Hanya Allah SWT menyuruh yang punya hak memelihara haknya dengan dua saksi atau satu orang saksi lelaki dan dua orang saksi perempuan.
Rasulullah bersabda :
عن ابن عبا س قا ل: قا ل رسول صلعم, لويعطي الناس بدعواهم لادعى ناس دماء رجال واموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه (رواه مسلم)
Artinya : “Dari lbnu Abbas berkata, bahwa Rasulallah SAW bersabda : Sekiranya diberikan kepada manusia apa saja yang digugatnya, tentulah manusia akan menggugat apa yang dikehendakinya, baik jiwa ataupun harta. Akan tetapi sumpah itu dihadapan orang yang tergugat”. (H.R. Muslim)


Kemudian Sabda Rasulullah SAW yang lain:

البينة على من ادعى واليمين على من انكر (رواه البيهقي)[4]
        
Artinya: “Bukti itu dibebankan atas penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat (orang yang mengingkari gugatan)” (H.R. Al-Baihaqi)

Kata al-Bayyinah dalam kalam Allah SWT, Rasulullah SAW dan ucapan para Sahabat adalah nama bagi setiap apa yang menerangkan Al-Haq (kebenaran).[3]
Atas keterangan dari Al-Qur’an dan Hadist di atas, maka setiap perkara harus dibuktikan. Pembuktian ini mencangkup semua perkara yang dihadirkan dalam pengadilan, dan tidak akan mengabulkan dakwaan penggugat sebelum dapat memastikan dan mendengarkan keterangan pihak yang tergugat.
Hukum Islam merupakan salah satu bentuk sistem hukum yang mulai berkembang sejak kelahiran agama islam pada abad ke 6 Masehi.  Hukum islam merupakan bagian dari ajaran agama islam. Hal ini dikarenakan agama islam dalam ajarannya melingkupi pengaturan mengenai hubungan antara manusia dengan tuhannya dan hubungan antara manusia dengan sesama makhluk tuhan. Aturan tersebut yang nantinya akan menjadi hukum dalam islam yang memiliki sumber utama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Hukum islam itu sendiri dapat dikategorisasikan kedalam beberapa cabang hukum seperti hukum tata negara, hukum perdata, hukum internasional, dan hukum pidana, yang nantinya akan dibahas lebih lanjut terkait sistem pembuktian dalam hukum pidana islam.
Sebelum membahas tentang sistem pembuktian dalam hukum islam, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai bentuk-bentuk tindak pidana dalam hukum islam karena hal tersebut berkaitan dengan sistem pembuktian dalam hukum islam. Didalam hukum islam tindak pidana atau dikenal dengan istilah jarimah dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
a)      Jarimah Hudud
b)      Jarimah Qisas Diyat
c)      Jarimah Ta’zir
Pembagian Jarimah diatas didasarkan dari segi hukumannya yang diterima.
a)      Jarimah Hudud
Merupakan jarimah yang hukumannya sudah ditentukan oleh Allah SWT terkait bentuk dan banyaknya dan  merupakan hak Allah SWT yang artinya hukuman tersebut tidak dapat dihapus oleh siapapun.[4] Menurut Abdul Qader udah hukuman hudud ini dilakukan tanpa adanya pertimbangan dari keluarga atau kelompok korban dan berdasarkan kepribadian pelaku. Selain itu hakim juga tidak berhak memaafkan atau mengurangi hukuman hudud ini. Bentuk jarimah yang masuk kedalam jarimah hudud ini antara lain berzina, menuduh berzina, mencuri, merampok, memberontak, murtad, minum minuman keras atau khamr, melakukan kerusakan di muka bumi. Alasan mengapa hukuman jarimah merupakan hukuman yang harus dilaksanakan karena hal-hal yang dikategorikan kedalam jarimah hudud merupakan hal-hal yang mengganggu lima tujuan dari agama islam (al-maqasid al-khamsah). Isi dari al-maqasid al-khamsah ini antara lain agama, keturunan, akal, jiwa, dan harta.

b)      Jarimah Qisas Diyat
Merupakan jarimah yang pelakunya karena perbuatannya diancam hukuman qisas atau diyat yang mana telah ditentukan batasnya.[5] Diyat biasanya berupa denda atau sejumlah barang atau uang yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban atas apa yang sudah dilakukannya. Yang termasuk jarimah qisas diyat antara lain adalah pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
c)      Jarimah Ta’zir
Jarimah ta'zir merupakan bentuk  hukuman dalam islam yang berasal dari pemikiran akal yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah karena tidak diatur secara langsung atau belum diatur oleh kedua sumber tersebut. Karenanya Ta'zir merupakan bentuk hukuman islam yang dapat dikembangkan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan. Menurut Al-Mawardi definisi dari ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang ditentukan hukumannya oleh syara’”. Sebagaimana artinya yaitu memberi pengajaran, maka prinsip dasar dari jarimah ta'zir adalah restoratif dan pembinaan, rehabilitasi. Hukuman ta’zir ini ditentukan oleh penguasa setempat yang berwenang dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan syariah.
Dalam Hukum Pidana Islam sistem pembuktian yang digunakan tidak menganut mutlak empat teori sistem pembuktian pada umunya yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. Hal ini disebabkan untuk tiap kasus sistem pembuktiannya berbeda didasarkan pada bentuk tindak pidananya. Contohnya adalah dalam pembuktian kasus zina yang pembuktiannya dapat menggunakan persaksian, pengakuan, dan qarinah. Sedangkan untuk kasus pembunuhan selain ketiga alat bukti dapat pula digunakan sumpah (qasamah). Berdasarkan contoh tersebut maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan cara pembuktian. Pada umumnya pada kasus-kasus tindak pidana atau jarimah hudud digunakan alat bukti pengakuan, persaksian, dan qarinah (alat bukti). Karenanya dalam pembuktian hukum pidana islam lebih ditekankan pada alat bukti yang digunakan untuk membuktikan tindak pidana tersebut. Berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad beberapa ulama dan fuqaha maka terdapat beberapa jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian hukum islam antara lain adalah pengakuan, persaksian, sumpah (al-qasamah), dan petunjuk (qarinah). Terkait alat bukti ini juga terdapat perbedaan pendapat terkait jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan untuk tindak pidana atas jiwa (pembunuhan), bukan jiwa (pelukaan), dan atas janin atau yang termasuk kedalam jarimah qisas diyat. Pandangan pertama, menurut para jumhur ulama, untuk pembuktian qisas dan diyat dapat digunakan 3 cara alat pembuktian yaitu pengakuan, persaksian, dan al-qasamah. Sedangkan pendapat kedua, menurut sebagian fuqaha seperti ibnu al-qayyim dari mahzab hanbali, untuk pembuktian jarimah qisas dan diyat digunakan empat alat pembuktian yaitu pengakuan, persaksian, al-qasamah (sumpah), dan qarinah (petunjuk)
1.4. Jenis-jenis Alat Bukti
Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam tindak pidana. Pertama, menurut jumhur ulama’, untuk pembuktian jarimah qishash dan diyat dapat digunakan tiga cara (alat) pembuktian: pengakuan, persaksian, dan al-qosamah. Kedua, menurut sebagian fuqoha seperti Ibn Al-Qayyim dari mazab Hambali, untuk pembuktian qishash dan diyat digunakan 4 cara pembuktian: pengakuan, persaksian, al-qasamah, dan qarinah. Ketiga alat bukti tersebut qasamah (pengakuan, persaksian, dan qarinah) merrpakan alat bukti yang banyak digunakan dalam jarimah-jarimah hudud. Perbedaan pendapat antara para ulama’ hanya terdapat dalam alat bukti qarinah, meskipun alat bukti yang paling kuat sebenarnya hanya ada dua, yaitu pengakuan dan persaksian. Qasamah sendiri juga termasuk alat bukti yang di perselisihkan, walaupun ulama-ulama dan kalangan mazab empat telah menyepakati
1)      Pengakuan
Pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara’ adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut.[6] Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Adapun sumber dari Al-Qur’an tercantum dalam: surat An-Nisa’ ayat 35.
2)      Persaksian
Bayyinah dalam istilah fuqaha’, syadanah (kesaksian). Tetapi Ibnu Al-Qayyim memaknakan bayyinah dengan dengan segala yang dapat menjelaskan perkara. Syahadah adalah mengemukakan, syahada (kesaksian) untuk menetapkan hak atas diri orang lain. Dengan kesaksian yang cukup syarat, nyatalah kebenaran bagi hakim dan wajiblah dia memutuskan perkara sesuai dengan kesaksian itu.
3)      Qasamah
Qasamah dalam arti bahasa adalah al-yamin yang artinya sumpah.Menurut istilah, qasamah didefinisikan sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan. Abu Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili juga membuet definisi dengan menyatakan: Arti qasamah menurut istilah fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si pembunuh) untuk membuktiakan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan.
4)      Qarinah
Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina, misalnya qarinah sudah dibicarakan, baik kegunaanya maupun dasar hukumnya. Salah satu conto qarina dalam jarimah zina adalah adanya kehamilan dari seorang perempuan yang tidak bersuami. Dalam jarimah syurbul khami (meminum-minuman keras), yang dapat dianggap sebagai qarinah, misalnya bau minuman dari mulut tersangka. Dalam tidak pidana pencurian, ditemukannya barang curian dirumah tersangka merupakan suatu qarimah yang menunjukkan bahwa tersangka yang mencuri barang tersebut.
Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut: Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas menyerai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjuk kepadanya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:
a.  Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan
b. Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yamng samar (khafi)
Dalam jarimah qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka ihtiath (hati-hati) guna menyelesaikan kasus pembunuhan, denga berpegang kepada adanya korban ditempat tersangka menurut Hanafiyah, atau berpegang dengan adanya lauts (petunjuk) menurut jumhur ulama’. Salah satu contoh lauts yang kemudian menjadi petunjuk (qarina) adalah terdapatnya tersangka didekat kepala korban, badan dan tangannya memegang pisau yang terhunus, serta badanya berlumuran darah. Adanya tersangka didekat jasad korban dengan pisau terhunus dan badan serta pakaian yang berlumuran darah merupakan petunjuk (qarinah) bahwa dialah orang yang membunuh korban. Demikian pula ditemukanya korban di tempat (wilayah) tersangka merupakan qarinah (petunjuk) bahwa pembunuhan dilakukan oleh penduduk diwilayah tersebut.



















BAB III
KESIMPULAN
membuktikan adalah mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai pada batas yang meyakinkan. Yang dimaksud meyakinkan adalah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dalil-dalil itu
Dalam Hukum Positif pembuktian adalah untuk mencari dan menempatkan kebenaran materil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain. Dalam hokum islam tidak jauh  berbeda dengan hokum positif yaitu  Seorang hakim dituntut untuk memutuskan suatu perkara dengan hujjah atau alasan yang memihak kepada kebenaran apabila tidak ada tandingannya yang sama. Di samping itu dituntut dari hakim dalam memutuskan perkara diantara dua orang, hendaklah mengetahui apa yang terjadi kemudian ia memutuskan dengan apa yang wajib.dengan alat bukti sebagai berikut
a.       Pengakuan
b.      Persaksian
c.       Qasamah
d.      Qarinah




[1] Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 151
[2] Hasyim dkk, Teori Pembuktian menurut Fiqh Jinayah Islam ,(Yogyakarta graaha cipta), hal. xi-xii
[3] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta  1984, hal 77.

[4] Topo Santoso Wismar dkk, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 3
[5] Ibid, Hal 3
[6] Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, jus II, dar al-Kitab al-Arab, Beirut, hal. 303

1 komentar:

  1. Poker Tournaments - KongPintar.com
    The game is based on kadangpintar the classic 바카라 사이트 poker septcasino game, and players can play in many variations with varying rules and conditions.

    BalasHapus