Selasa, 27 Januari 2015

sejarah peradilan agama



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama sejalan dengan perkembangan system hukum yang ada di Indonesia. Bahkan sebelum bangsa Eropa (Belanda) dating ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki berbagai macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh Raja sekalipun susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini. Lembaga pengadilan dari zaman ke zaman akan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.
Sebagai Negara yang konstitusinya menamakan dirinya Negara hukum, maka sesungguhnya fungsi lembaga peradilan bagi Indonesia amatlah penting. Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu diperlakukan di Indonesia, apakah ada system peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagaimana bentuk-bentuk pengadilan pengadilan dalam menjalankan fungsi peradilan.

1.1. Rumusan masalah
a.       Apakah pengertian peradilan agama?
b.      Bagaimanakah akar Historis hokum islam di Indonesia?
c.       Tahun Berapakah undang undang yang mengatur tentang peradilan agama?
d.      Mengapa peradilan agama satu atap  dibawah  mahkamah agung?
1.2. Tujuan masalah
a.       Untuk mengetahui pengertian peradilan agama
b.      Untuk memahami akar historis hokum islam di ondonesia
c.       Untuk mengetahui undang undang yang mengatur tentang peradilan agama
d.      Untuk mengetahui tentang peradilan agama satu atap dibawah mahkamah agung



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    PENGERTIAN PERADILAN  AGAMA
Didalam kamus besar bahasa indonesia Peradilan adalah “ segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”. Dalam ilmu hukum, peradilan dijelaskan oleh para sarjana hukum indonesia sebagai terjemahan dari rechtspraak dalam bahasa belanda[1]. Menurut Mahadi, Peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu keputusan, proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum acara.jadi peradilan tidak bisa lepas dari hukum acara. 
            Menurut abdul gani abdullah menyimpulkan bahwa peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan.
Peradilan agama pada masa awal kemerdekaan republik Indonesia pengadilan agama masih berpedoman kepada peraturan perundangan-undangan pemerintah kolonial Belanda berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang berbungi: “segala badan selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini peranan peradilan agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri dihapuskan peradilan agama menjadi bagian drai peradilan umum. Untuk menagani perkara yang menjadi kewenangan dan kekuasaan peradilan agama ditangani oleh peradilan umum secara istimewa dengan seseorang hakim yang beragama islam sebagai ketua  dan didampingi dua orang hakim ahli agama islam.
Pada masa berikutnya, berdasarakan ketentuan pasal 98 UUD sementara dan pasal 1 ayat (4) UU Darurat no. 1 tahun 1951, pemerintah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa-Madura. Menurut ketentuan pasal 1, “di tempat-tempat yang ada pengadilan negeri ada sebuah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, yang daerah hukum sama dengan daerah hukum pengadilan negeri”. Sedangkan menurut ketentuan pasal 11, “apabila tidak ada ketentuan lain, di ibu kota propinsi diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah propinsi yang wilayahnya meliputi satu, atau lebih daerah propinsi yang ditetapkan oleh menteri agama. (21) adapun kekuasaan pengadilan agama atau mahkamah syari’ah itu, menurut ketetapan pasal 4 PP Tersebut, Adalah Sebagai Berikut:
a.       Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memeriksa atau memutuskan perselisihan anatara suami dan istri yang beragama Islam dan semua perkara yang menurut hukum yang diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin (mahr), tempat kediaman (maskawin), muth’ah) dan sebagainya.
b.       Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam.


2.2.  AKAR HISTORIS HUKUM ISLAM DI INDONESIA 
Walaupun  merupakan  bagian  integral  syari’ah  Islam  dan  memiliki  peran  signifikan,  kompetensi  dasar  yang  dimiliki  hukum  Islam,  tidak  banyak  dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian  besar  kalangan  beranggapan,  tidak  kurang  diantaranya  kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off  to  date  dalam konsep hukum Islam.Ketakutan  ini  akan  semakin  jelas  adanya  apabila  mereka  membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.[2]

Bagaimana  dengan  perkembangan  hukum  pidana  Islam  di  Indonesia? Pertanyaan ini sudah seharusnya diajukan sebab kedudukan hukum perdata Islam telah  terjalin  secara  luas  dalam  hukum  positif,  baik  hal  itu  sebagai  unsur  yang mempengaruhi  atau  sebagai  modifikasi  norma  agama  yang  dirumuskan  dalam peraturan perundang-undangan keperdataan, bahkan tercakup dalam lingkup hokum substansial dari UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.Sedang hukum Islam dibidang  kepidanaan-  untuk  menyebut  lain  dari  hukum  pidana  Islam-  belum mendapat tempat seperti bidang hukum keperdataan Islam.Selain itu, berbagai kajian akademik yang ada seringkali bersifat politis dan memperlebar jarak pemahaman hukum pidana positif dengan hukum Islam bidang kepidanaan.   

Dalam  perspektif  makro-historis,  kemajemukan  hukum  merupakan  realitas sejarah  yang  tidak  dapat  dihindarkan.Mazhab  Posivisme  berpendapat,  bahwa:  the development of law formalized for the sake of the law only. Kalangan ini menolak keras campur tangan politik dalam hukum, hukum demi hukum, ilmu hukum  berbentuk value-free science sedangkan ilmu politik apalagi jika dikaitkan dengan ilmu sosial berbentuk value-loaded science.Dalam pandangan kelompok ini prosedur penemuan, pembentukan, dan pelaksanaan hukum berjalan dalam bingkai aparat hukum an sich, hukum hanya dapat ditemukan  melalui  keputusan  hakim  saja.Adapun  proses  pembentukan  hokum dibatasi pada produk legitimator yang disahkan undang-undang . law  is  a  command  of the law giver .

Hubungan  antara  praktek  hukum  Islam  dengan  agama  Islam  dapat  diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.Hukum Islam bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan pemeluknya . Oleh sebab  itu,  untuk  membicarakan  perkembangan  hukum  Islam  di  Indonesia  erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia.Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra penjajahan dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia.

2.3.  UU NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Undang-Undang nomor 7 ini disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember Tahun 1989 ditempatkan dalam lembaran Negara RI nomor 49 tahun 1989 dan tambahan dalam lembaran negara nomor 3400. Isi dari undang-undang nomor 7 tahun 1989 terdiri atas tujuh Bab, meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab tersebut adalah ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan pengadila, hukum acara, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup[3].

Perubahan pertama,tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan, sebelum UU nomor 7 tahun 1989 berlaku dasar penyelenggaraan peradilan braneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintahan belanda, dan sebagian merupakan produk pemerintah republik indonesia. Sejak berlakunya UU nomor 7 tahun 1989 semua peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak berlaku lagi. 

v  Perubahan kedua, tentang kedudukan pengadilan.. Berdasarkan UU Nomor 7 tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sejajar dengan pengadilan
v   dalam lingkungan peradilan lainnya,khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

v  Perubahan ketiga, tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diagkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul menteri agama berdasarkan persetujuan mahkamah agung. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat putusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.

v  Perubahan keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1), “pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara untuk orang Islam”.

v  Perubahan kelima, tentang hukum acara. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang-undang ini.

v  Perubahan keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama ada dua jenis administrasi yaitu,administrasi peradilan dan administrasi umum.

v  Perubahan ketujuh, tentang perlindungan terhadap wanita. Ketentuan tidak berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, dan tidak pula dihapuskan.



2.4.  PERADILAN AGAMA SATU ATAP  DIBAWAH  MAHKAMAH AGUNG (ONE ROOF SYSTEM OF JUDICIAL)

Kekuasaan eksekutif salah satu contoh bahwa pembinaan secara organisatoris, administratif dan finansial berada ditangan eksekutif. Mahkamah Agung hanya melakukan pembinaan terhadap empat lingkungan peradilan secara teknis justicial.[4] Masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan kehakiman dinegeri ini tidak independen sebagaimana seharusnya.

Oleh karena itu banyak muncul tuntutan dari berbagai pihak agar kekuasaan kehakiman harus bersifat independen, salah satunya adalah dalam hal mekanisme pembinaannya. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman merupakan undang-undang yang menganut sistem dua atap (double roof system).Sistem peradilan satu atap adalah suatu kebijakan yang potensial menimbulkan implikasi, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Implikasi yang perlu diantisipasi dengan adanya sistem antara lain:
  1. Ditinjau dari ajaran Trias politica dengan satu atap, pemisahan kekuasaan kehakiman dari kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi lebih murni.
  2. Satu atap juga dapat menimbulkan konsekuensi pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman, selain harus bertanggungjawab secara teknis yusticial juga secara administratif.
  3. Ada kekhawatiran sistem satu atap justru akan melahirkan kesewenang-wenangan pengadilan atau hakim, karena dengan satu atap tidak ada lagi lembaga lain yang mengawasi prilaku hakim.
  4. Dalam praktikmya pengawasan terhadap hakim yang nakal menjadi sulit karena urusan gaji dan administrasi berada didepartemen kehakiman. Sistem satu atap akan lebih baik ketika diiringi oleh keberadaan komisi yudisial.
  5. Satu atap akan mempersingkat berbagai urusan dan memudahkan komunikasi.
Sementara terhadap Mahkamah Konstitusi segala hal yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya menjadi wewenang secara internal. Adapun mengenai Mahkamah Konstitusi ini diatur dalam undang- undang Nomer 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terdapat lembaga Negara lain yang berhubungan dengan kekuasan kehakiman yaitu komisi yudisial, yang mempunyai tugas dan kewenangan antara lain melakukan seleksi calon Hakim Agung dan menjadi pengawas terhadap kinerja hakim secara keseluruhan.

Dengan demikian sistem peradilan yang ada di negara kita telah memadahi,sehingga yang terpenting untuk saat ini adalah membangun moral dari aparat penegak hukum itu sendiri. Termasuk di dalamnya dapat ditempuh melalui jalur pendidikan hukum yang menekankan pada aspek pengetahuan(know ledge),keahlian(skill),dan nilai(values). Sehingga para calon penegak hukum yang dihasilkan nantinya di samping memiliki keahlian di bidang hukum juga menjunjung tinggi moral dan etika .Termasuk dalam hal ini peradilan agama yang telah memiliki komptensi selain di bidang hukum keluarga juga hukum perdata lain dalam hal ini yang berkaitan dengan ekonomisyariah.Sehingga dengan sistem satu atap ini ,maka diperlukan SDM hakim pengadilan agama yang benar-benar menguasai bidang Ekonomi Syariah. 
















BAB III
KESIMPULAN
Penyelesaian perselisihan dan persengketaan di dalam kehidupan masyarakat itu sangat dbutuhkan. Adapun peradilan adalah kekuasaan negara dalam  menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Pada masa Kolonial Belanda tidak mau mencampuri organisasi Pengadilan Agama. Dan terdapat perubahan yang cukup peting yaitu Reorganisasi yang membentuk Pengadilan Agama yang baru disamping landraad dengan wilayah hukum yang sama dan Pengadilan yang menetapkan perkara-perkara  yang masuk dalam lingkungan kekuasaannya.
            ndang-undang Nomor  7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mempunyai beberapa Bab yaitu Ketentuan Umum, Susunan pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, dan Ketentuan Penutup.

























[1] Muhammad Ali Daud, “Hukum Islam dan Peradilan Agama”, (Jakarta: Rajawali Press, 1997).hal 105

[2] Ratno lukito , “Islamic Law and Adat Encounter”,( Jakarta: Logos, 2001),hal 78

[3] Abdul Ghofu anshariri, “Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 sejarah, kedudukan dan kewenangan”,( Yogyakarta: UII Press,2000), hal 91
[4]  Ibid hal 105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar